PLATYE — Washington, DC – Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada Jumat (11/7/2025) mengumumkan sanksi terhadap Presiden Kuba Miguel Diaz-Canel Bermudez dan sejumlah pejabat tinggi lainnya karena pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Pengumuman ini disampaikan bertepatan dengan peringatan demonstrasi terbesar di Kuba dalam beberapa dekade terakhir.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan di platform media sosial X bahwa Kementerian Luar Negeri AS juga akan memberlakukan pembatasan visa terhadap pejabat peradilan dan penjara Kuba yang “bertanggung jawab atas atau terlibat dalam penahanan dan penyiksaan yang tidak adil terhadap para pengunjuk rasa Juli 2021.”
Demonstrasi yang berlangsung pada 11 dan 12 Juli 2021 itu muncul secara spontan, bukan dipimpin oleh kelompok oposisi, dan menyoroti parahnya krisis ekonomi di Kuba.
“AS akan terus membela HAM dan kebebasan fundamental rakyat Kuba, serta menegaskan bahwa tidak ada rezim yang tidak sah dan diktator yang diterima di kawasan kita,” kata Rubio dalam pernyataannya seperti dilansir AP.
Sikap Keras AS dan Kecaman Kuba
Pemerintahan Donald Trump mengambil sikap yang lebih keras terhadap pemerintah Kuba dibandingkan pemerintahan Joe Biden.
Selain Diaz-Canel, AS juga menjatuhkan sanksi terhadap Menteri Pertahanan Kuba Alvaro Lopez Miera dan Menteri Dalam Negeri Kuba Lazaro Alvarez Casas.
Tidak lama setelah pengumuman, Wakil Direktur Departemen Urusan AS di Kementerian Luar Negeri Kuba Johana Tablada mengecam Rubio dan menyebutnya sebagai “pembela genosida, sistem penahanan sewenang-wenang, dan deportasi massal”.
Demonstrasi pada 2021 dipicu oleh pemadaman listrik berulang di Havana dan sejumlah kota lainnya. Satu orang tewas dan beberapa aksi unjuk rasa berujung pada tindakan vandalisme.
Kelompok-kelompok pendukung pemerintah bersama aparat turut merespons aksi tersebut dengan melakukan penindakan. Kelompok-kelompok hak asasi manusia memperkirakan lebih dari 1.000 orang ditangkap, meskipun pemerintah tidak mengeluarkan angka resmi.
Saat itu, pemerintah Kuba menyatakan bahwa aksi-aksi tersebut merupakan hasil dari kampanye media AS dan dampak sanksi ekonomi AS yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Pada 2022, jaksa Kuba menyebut sekitar 790 orang diselidiki atas tindakan yang berkaitan dengan demonstrasi, mulai dari mengganggu ketertiban hingga sabotase dan vandalisme.
Kelompok advokasi 11J, yang namanya merujuk pada tanggal demonstrasi tersebut, menyatakan pada akhir tahun lalu bahwa terdapat 554 orang yang sedang menjalani hukuman penjara terkait aksi protes tersebut. Namun, beberapa di antaranya dibebaskan bersyarat pada Januari lalu setelah adanya seruan dari Paus Fransiskus.